SOSIAL – Komunitas Suku Dayak dari Ikatan Keluarga Dayak Islam (IKDI) Provinsi Kalimantan Barat, memperingatkan Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (DPP MUI), Tengku Zulkarnain, jangan memancing kemarahan Suku Dayak.
Hal itu dikemukakan Prof Ir Haji Alamsyah HB dan Haji Leno dari IKDI Provinsi Kalimantan Barat, Kamis (19/1/2017). Keduanya hadir dalam pertemuan di kediaman Cornelius Kimha, Rabu (18/1), menindaklanjuti laporan polisi terhadap Tengku Zulkarnain di Polisi Daerah Kalimantan Barat, Selasa (17/1).
Tengku Zulkarnain dilaporkan ke polisi, atas penistaan etnis di dalam cemarah yang tersebar di youtube dengan menuding Dayak sebagai kelompok kafir tidak layak masuk surga karena derajatnya lebih rendah dari binatang.
“Tengku Zulkarnain telah merusak citra MUI secara keseluruhan karena menjadi lokomotif penyebar fitnah, permusuhan dan ujaran kebencian di Indonesia. Itu artinya sama saja MUI anti kebhinekaan dan keberagaman,” kata Alamsyah.
Alamsyah mengatakan, ucapan Tengku Zulkarnain bisa langsung memancing kemarahan kolektif Suku Dayak, tidak hanya di Indonesia, melainkan memancing kemurkaan Suku Dayak di Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.
Dikungkapkan Alamsyah, kalau sampai orang Dayak marah, lantaran dihina, difitnah, dilecehkan dan disudutkan tanpa dasar, tidak akan ada pihak manapun, termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang mampu melerai.
Apabila Suku Dayak sudah marah meledak-ledak, ujar Alamsyah, maka kekuatan supranatual akan membantu, sebagaimana kerusuhan rasial tahun 1967 di Kalimantan Barat dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU), serta kerusuhan di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawiringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2001.
Alamsyah mengingatkan Tengku Zulkarnain untuk menyadari implikasi kemarahan Suku Dayak selama kerusuhan terakhir di Sampit tahun 2001, karena warga Dayak beragama Islam terlibat di dalamnya.
“Kami minta, untuk mengantisipasi segala sesuatu yang tidak diinginkan, Polri mesti segera memproses hukum Tengku Zulkarnain. Pengurus MUI tidak kebal hukum. MUI harus hentikan sikap bermusuhan antar kelompok masyarakat di Indonesia,” kata Alamsyah.
Leno menambahkan, dari ujaran kebencian yang dilakukan Tengku Zulkarnain, membuktikan MUI tidak memahami akar pemahaman budaya Suku Dayak di Kalimantan, karena orang Dayak pernah menjadi Ketua DPP MUI, yakni KH Hasan Basri dari Provinsi Kalimantan Selatan.
“Perlu dipahami sebagian besar Suku Dayak di Kalimantan, baik di Indonesia maupun di Malaysia, beragama Islam. Dengan menyebut Dayak kafir, sama saja Tengku Zulkarnain menghina sesama Islam,” ujar Leno.
Hal itu dikemukakan Prof Ir Haji Alamsyah HB dan Haji Leno dari IKDI Provinsi Kalimantan Barat, Kamis (19/1/2017). Keduanya hadir dalam pertemuan di kediaman Cornelius Kimha, Rabu (18/1), menindaklanjuti laporan polisi terhadap Tengku Zulkarnain di Polisi Daerah Kalimantan Barat, Selasa (17/1).
Tengku Zulkarnain dilaporkan ke polisi, atas penistaan etnis di dalam cemarah yang tersebar di youtube dengan menuding Dayak sebagai kelompok kafir tidak layak masuk surga karena derajatnya lebih rendah dari binatang.
“Tengku Zulkarnain telah merusak citra MUI secara keseluruhan karena menjadi lokomotif penyebar fitnah, permusuhan dan ujaran kebencian di Indonesia. Itu artinya sama saja MUI anti kebhinekaan dan keberagaman,” kata Alamsyah.
Alamsyah mengatakan, ucapan Tengku Zulkarnain bisa langsung memancing kemarahan kolektif Suku Dayak, tidak hanya di Indonesia, melainkan memancing kemurkaan Suku Dayak di Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.
Dikungkapkan Alamsyah, kalau sampai orang Dayak marah, lantaran dihina, difitnah, dilecehkan dan disudutkan tanpa dasar, tidak akan ada pihak manapun, termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang mampu melerai.
Apabila Suku Dayak sudah marah meledak-ledak, ujar Alamsyah, maka kekuatan supranatual akan membantu, sebagaimana kerusuhan rasial tahun 1967 di Kalimantan Barat dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU), serta kerusuhan di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawiringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2001.
Alamsyah mengingatkan Tengku Zulkarnain untuk menyadari implikasi kemarahan Suku Dayak selama kerusuhan terakhir di Sampit tahun 2001, karena warga Dayak beragama Islam terlibat di dalamnya.
“Kami minta, untuk mengantisipasi segala sesuatu yang tidak diinginkan, Polri mesti segera memproses hukum Tengku Zulkarnain. Pengurus MUI tidak kebal hukum. MUI harus hentikan sikap bermusuhan antar kelompok masyarakat di Indonesia,” kata Alamsyah.
Leno menambahkan, dari ujaran kebencian yang dilakukan Tengku Zulkarnain, membuktikan MUI tidak memahami akar pemahaman budaya Suku Dayak di Kalimantan, karena orang Dayak pernah menjadi Ketua DPP MUI, yakni KH Hasan Basri dari Provinsi Kalimantan Selatan.
“Perlu dipahami sebagian besar Suku Dayak di Kalimantan, baik di Indonesia maupun di Malaysia, beragama Islam. Dengan menyebut Dayak kafir, sama saja Tengku Zulkarnain menghina sesama Islam,” ujar Leno.
Penulis : Aju
Editor : Murizal Hamzah (mh@netralitas.com)
Editor : Murizal Hamzah (mh@netralitas.com)
Sumber Berita