-->

Monday, 1 August 2016

Pejabat BNN Tanggapi Testimoni Terpidana Mati Freddy Budiman

Jakarta - Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyebut ada oknum kepolisian dan Badan Narkotika Nasional yang bekerja sama dengan Freddy Budiman. Kabar itu ia dapat saat mendengarkan curahan hati dari sang terpidana mati tersebut.

Pernyataan itu ditanggapi oleh mantan Deputi bidang pemberantasan BNN Benny Mamoto. Dia menyesalkan pernyataan tersebut. Sebab, informasi itu dianggapnya dapat menghancurkan institusi pemberantasan narkoba.

"Saya kasihan masyarakat sudah kemakan isu dan menghujat institusi. Kepercayaan publik jadi hancur kepada kita, padahal kita membangun kepercayaan publik itu tidak mudah," ujar Benny Mamoto, Jakarta, Sabtu (30/7/2016).

Benny yang merupakan orang yang mengungkap dan menangkap Freddy Budiman menegaskan testimoni gembong narkoba itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi tulisan yang disebar oleh Haris Azhar tidak bisa ditelisik kebenarannya.

Mantan calon Gubernur Sulawesi Utara itu menjelaskan, pernyataan Haris hanyalah sebuah upaya menarik perhatian. Ia pun mempertanyakan maksud ungkapan tersebut.

"Kalau BNN mau nanya Freddy gimana caranya sekarang? Kenapa tidak diluncurkan 5 hari atau 10 hari sebelumnya (eksekusi). Kalau kayak gini mau nanya siapa?" ucap Benny.

Benny menduga, pernyataan dan cerita itu sengaja disebar Haris karena sudah memperhitungkan dengan matang, yaitu polisi dan BNN tak akan bisa mengonfirmasi pernyataan itu pada Freddy.

"Haris Azhar tahu bahwa BNN maupun polisi tidak bisa konfirmasi ke Freddy. Sengaja disebar saat eksekusi sudah dilakukan," ucap Benny.

Niat Haris, menurut Benny, hanya sensasi saja. Untuk itu publik diminta lebih kritis menanggapi kabar tersebut.

"Tolong tanyakan ke dia dan publik, kalau niatnya mau memberikan informasi pada aparat, harusnya saat Freddy masih hidup. Jangan saat Freddy sudah mati," ucap Benny.

Benny bahkan menunjukkan prosedur pelaporan untuk Haris Azhar, jika memang ingin melaporkannya.

"Langsung sampaikan surat, informasi, ketemu (BNN) kek, langsung didalami bisa dikorek, bisa dikembangkan," ucap Benny.

Ia juga menampik tudingan yang menyebut Freddy membawa dirinya serta orang BNN terbang ke China untuk menunjukkan pabrik narkotika. Tuduhan itu ditegaskannya tidak beralasan.

"Mana bisa BNN bawa napi keluar negeri, enggak boleh itu, enggak ada," Benny menegaskan.

Eksekusi mati jilid III di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah telah berlangsung pada Jumat dini hari 29 Juli 2016. Dari 14 terpidana, hanya empat yang akhirnya dieksekusi mati.

Sebenarnya, belasan terpidana mati tersebut sudah dipersiapkan menjalani eksekusi. Mereka sudah mengenakan pakaian khusus yang rapi sebelum ditembak mati.

Koordinator Lapas se-Nusakambangan Abdul Aris mengatakan, untuk terpidana yang beragama Muslim mengenakan baju gamis dan kopiah.

"Ya kalau yang Islam pakai baju gamis semua. Pak Freddy, Pak Zulfiqar, Pak Gurdip, dan Pak Pujo. Persiapannya sudah semua," kata Aris saat dihubungi di Cilacap, Sabtu (30/7/2016).

Sementara terpidana non-Muslim, kata Aris, juga sudah mempersiapkan diri. Hanya saja tidak ada pakaian khusus yang mereka kenakan.

"Kalau yang Nasrani, pakai baju yang ada di badannya saja," kata dia.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmat sebelumnya memastikan, pihaknya hanya mengeksekusi empat terpidana pada eksekusi mati jilid III. Mereka adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus, dan Humprey Ejike.

"Sementara, empat yang dieksekusi mati tepat pukul 00.45 WIB," kata Noor Rachmat di dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dini hari 29 Juli 2016.

Freddy Budiman merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang dipidana mati akibat kasus impor 1,4 juta butir ekstasi. Sedangkan, Michael Titus warga Nigeria, dengan barang bukti 5.223 gram heroin.

Warga Nigeria lainnya adalah Humprey Ejike akibat selundupkan 300 gram heroin, dan warga Senegal Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane terbukti membawa 2,4 kilogram heroin.

Sumber: beritahangat5.com

 

Delivered by FeedBurner