Kamar kontrakan M dipasangi garis polisi. Foto: detik.com |
PERISTIWA - Nurani kita seketika berontak begitu melihat video rekaman aksi sekumpulan orang dewasa menelanjangi dan mengarak perempuan muda dan pasangannya yang dituduh berbuat mesum. Namun bisakah kasus ini, dan kasus-kasus serupa sebelumnya, membuat kita lebih peduli dan empati di tengah ketimpangan sosial dan perilaku buruk tokoh-tokoh yang menjadi panutan?
Betapa miris membaca kisah M (20). Dikutip dari detik.com (14/11/17), M adalah anak yatim piatu, bekerja di pabrik sol sepatu dengan gaji Rp 80 ribu sehari, tinggal sendirian di rumah bedeng kontrakan. Di hari Sabtu naas itu, dia ditelanjangi dan diarak sambil difoto dan direkam lalu disebar ke internet hanya karena dituduh berbuat mesum dengan R, pacarnya. Padahal dari hasil pemeriksaan, polisi memastikan R datang hanya untuk mengantar makanan dan keduanya tidak berbuat mesum.
Lebih miris lagi, pelakunya justru ketua RW dan RT setempat yang mestinya melindungi warganya. Namun seperti terlihat dalam video, mereka begitu beringas menganiaya keduanya. Merenggut pakaian si perempuan hingga telanjang disaksikan puluhan mata, atas nama moralitas. Jika pun si perempuan telah berbuat salah, layakkah diperlakukan seperti itu?
Kini polisi telah mengamankan G, dan T serta empat warganya yakni A, I, S, dan N yang ikut terlbat dalam peritiswa itu. Ancam hukuman berat telah menanti karena mereka dijerat dengan pasal berlapis yakni pasal Pasal 170 dan 335 KUHP dengan ancaman di atas 5 tahun penjara. Meski belum memuaskan karena vonisnya kemungkinan di bawah 5 tahun dan tidak akan pernah bisa mengobati luka hati korban yang telah dipermalukan sedemikian rupa, tetapi kita berharap hukuman tersebut bisa menjadi peringatan bagi kita semua untuk tidak main hakim sendiri. Jangan sok menjadi penjaga moral sementara kelakuannya sendiri masih barbar dan amoral.
Lalu apa pesan yang bisa kita petika dari tragedi ini? Ternyata sebagian masyarakat sedang “sakit”. Mereka menganggap diri paling benar, paling bernoral, sambil melakukan tindakan-tndakan yang justru jauh dari nilai-nilai yang dijadikan alas pebuatan kejinya. Dalam tataran yang luas, perilaku semacam itu juga terjadi di level elit. Tokoh-tokoh yang selama ini menjadi panutan, baik di bidang politik, sosial maupun agama, kerap melakukan tindakan kekerasan, fisik maupun verbal, yang dampaknya sangat mempengaruhi perilaku dan cara pandang masyarakat.
Masyarakat di level grassroot secara tidak sadar mencontohnya sehingga merasa tidak bersalah ketika melakukan perbuatan hina seperti persekusi terhadap orang lain yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai agama dan adab. Mereka menganggao hal itu sebagai kewajaran karena juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang selama ini dijadikan panutan.
Simpati terhadap M serta kecaman dan hukuman terhadap para pelakunya, tidak akan berarti apa-apa jika kita melihatnya sebagai peristiwa biasa. Kita harus menganggapnya sebagai bentuk kebiadaban yang luar biasa agar apa yang dialami M dan para korban-korban sebelumnya, tidak terulang di masa mendatang.
Sumber Berita