
PERISTIWA - Ketika kita menilik ke buku-buku teks sejarah yang biasa dipakai di sekolah sebagai acuan, pahlawan kemerdekaan dari Indonesia Timur yang paling sering dibeberkan di sana adalah Kapitan Pattimura.
Di buku teks itu dengan gamblang tertulis bagaimana perjuangan Sang Kapitan bersama masyarakat Maluku lainnya berusaha mengusir Belanda. Mulai dari usahanya bersama kawan-kawan seperjuangan seperti Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha menggempur pasukan Belanda, sampai kepda akhir kisah pengabdiannya di sebuah tiang gantung di depan benteng Victoria seperti dikutip dari tribun-maluku.com (25/05/2016).
Sumber gambar: mollekainama.wordpress.com
Peristiwa berkaitan dengan kepahlawanan Pattimura yang paling melekat di ingatan tentu saja pada peristiwa penyerangan pos Belanda pada tahun 1817. Dilansir dari kapidean.blogspot.com (06/03/2017), serangan pertama Pattimura dan pasukan pada tanggal 14 Mei 1817 berhasil menangkap Residen Belanda yang bernama Van den Berg, dan pada penyerangannya yang kedua pada tanggal 16 Mei 1817 Kapitan Pattimura dan pasukan dapat menduduki Benteng Duurstede sekaligus membunuh keluarga Van den Berg.
Kisah kepahlawanan Pattimura yang melekat di kehidupan masyarakat Maluku dan Indonesia sayangnya tidak dibarengi dengan kejelasan sejarah yang menyangkut dirinya. Berbagai penelitian mencoba mengungkap kebenaran siapa sebenarnya Sang Kapitan, sayang usaha mereka membuahkan hasil yang masih simpang siur. Seperti dilansir dari tribun-maluku.com (25/05/2016), peneliti dan sejarawan dari berbagai pihak mencari tahu asal-usul Pattimura. Hasil penelitian yang paling mencolok mengungkapkan dua proposisi yang bertolak belakang. Yang pertama nama asli Pattimura adalah Thomas Matulessy (versi Itawaka, Haria, dan Ulath). Sedang proposisi kedua menyatakan nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy (versi M. Nur Tawainella).
Sayangnya masalah tidak berhenti sampai di situ. Netizen mulai membuat asumsi-asumsi masing-masing bahwa Pattimura adalah seorang ksatria beragama A atau B hanya berdasarkan pada dua versi nama itu. Bahkan ada yang saling serang argumen di kolom komentar artikel-artikel tentang Kapitan Pattimura. Sangat miris. Padahal Pattimura berjuang bukan atas dasar agamanya, melainkan karena dia merasa terpanggil untuk menumpas kolonialisme Belanda di tanah Maluku. Seharusnya netizen mencontohi sikap dan pengorbanan Pattimura. Bukan malah saling mengklaim.
Sumber gambar: kisraya.blogspot.com
Terlepas dari semua kontroversi mengenai asal-usul Kapitan Pattimura, pria itu sempat mengucapkan kalimat terakhir sewaktu dia akan digantung oleh Belanda di depan Benteng Victoria di Ambon. Kurang lebih kutipan kata-katanya seperti berikut:
"Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya."
Atau yang biasa diterjemahkan orang-orang sebagai "Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi sekali waktu kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit" seperti dikutip dari tni.mil.id (10/11/2016).
Sumber gambar: mollucastimes.com
Semoga kita bisa terus menjaga nyala api semangat Pattimura dan pahlawan-pahlawan lainnya. Dan kita juga bisa saling mendukung satu sama lain tanpa memandang status latar belakangnya seperti apa, karena kita adalah satu. Kita adalah Indonesia.