Palembang - Banjir dan tanah longsor melanda beberapa kabupaten di Sumatera, termasuk di Sumatera Selatan. "Ini dampak dari salah urus dalam tata kelola pengelolaan sumber daya alam (SDA)," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko pada Selasa, 9 Februari 2016.
Berdasarkan hasil pantauan Walhi, beberapa lokasi banjir tersebut pada bagian hulu atau di atasnya terdapat aneka izin untuk perusahaan swasta. Misalnya, izin kegiatan industri ekstraktif berupa pertambangan minerba 60 izin, perkebunan sawit 19 izin, dan hutan tanaman industri 1 izin.
Jumlah luas keseluruhan izin itu mencapai 181.429 hektare atau empat setengah kali luas Kota Palembang. Aktivitas eksploitasi SDA yang destruktif tersebut, kata Hadi, terus mendegradasi daya dukung dan daya tampung kesatuan ekosistem di Sumatera Selatan.
Selain itu, menurut Hadi, bencana disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang berkontribusi besar terhadap perubahan ekosistem, baik perubahan secara cepat maupun perlahan (akumulatif).
Karena itu, Walhi khawatir bencana ekologis ini akan terus meluas jika tidak diantisipasi sesegera mungkin."Pemerintah wajib mengubah paradigma dan model pembangunan dari yang selama ini digunakan," ujar Hadi.
Manager Desk Disaster Walhi Sumatera Selatan Dino Mathius mengatakan beberapa bencana ekologis sudah terjadi selama dua bulan terakhir.
Banjir terjadi di enam kecamatan di Kabupaten Lahat, seperti di Desa Gunung Kembang pada 23 Januari 2016, setidaknya terdapat 150 kepala keluarga (KK) menjadi korban, 4 rumah hanyut, dan 15 rumah rusak parah, serta sisanya terendam air setinggi 3 meter.
Pada waktu yang bersamaan, terjadi banjir di Kota Muara Dua, Kabupaten Oku Selatan, Muara Enim, dan Tanjung Enim, serta di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Saat ini banjir sedang terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin.
"Masih ada empat kecamatan di Musi Banyuasin yang berpotensi banjir seperti di Kecamatan Sekayu," katanya. Selain itu, potensi ada di Babat Toman, Sei Lais, dan Lawang Wetan.
Sumber: TEMPO.CO